Home

Mengenai Saya

Penyakit pada anak sebenarnya dapat diatasi jika gejalanya diketahui. sering orang tua panik pada saat anaknya sakit dikarenakan ketidaktahuan atas gejala penyakit yang diderita anaknya. untuk itu melalui blog ini yang beberapa artikelnya saya kutip dari website lain, mari sesama orang tua berbagi informasi tentang penyakit pada anak, pengobatan dan penanggulangannya

buku tentang anak


Masukkan Code ini K1-YD43Y4-D
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com

Tips dan info Ibu Hamil

Minggu, 30 September 2007

Jangan Mudah Berkata "Jangan" pada Balita

dikutip dari : http://www.sahabatnestle.co.id/homev2/main/dunia-dancow/tksk_balita.asp?id=1494


Usia balita, terutama periode umur 2 sampai 5 atau 6 tahun adalah masa eksplorasi. Pada masa jelajah ini rasa ingin tahu anak sangat besar dan lebih aktif dari sebelumnya. Menurut Erik Erikson, ini adalah masa penting membangun sikap kemandirian untuk mengekspresikan pikiran dan tindakan (autonomy) anak, serta membangun sikap penuh inisiatif dan kreatifnya. Semuanya ini adalah pondasi penting untuk memupuk rasa percaya diri anak.

Sayangnya, banyak orangtua yang tidak tahu bagaimana menghadapi perangai alami anak-anak usia tersebut. Keinginan untuk mencoba hal-hal yang baru, kelincahan anak yang luar biasa yang sering merepotkan orangtuanya, sering dianggap sebagai suatu kenakalan. Misalnya, seorang anak usia 3 tahun yang begitu gembira mendapatkan ilmu baru bahwa ketika gelas dilempar akan jatuh ke bawah dan pecah, tetapi orangtuanya justru memarahinya. Atau, seorang anak yang membongkar mainannya karena ingin tahu bagaimana bagian benda-benda bisa tersusun menjadi sebuah rangkaian mainan akan membuat orangtuanya marah.

Akibatnya, kata-kata “jangan”, “tidak boleh”, dan ancaman sering dilontarkan oleh para orangtua. Bahkan, banyak anak yang sudah mendapatkan makian dan pukulan. Cara yang salah dalam mendisiplinkan anak seperti ini akan membunuh rasa percaya diri anak karena anak akan takut mengembangkan dan mengekspresikan pikiran dan pendapatnya (shame/doubt). Rasa percaya diri anak akan tereduksi bila anak mengalami ketakutan besar untuk bertindak dan mengambil risiko (guilt), sehingga akan menjadi pribadi minder, apatis, bahkan agresif.

Pengalaman negatif yang dialami semasa kanak-kanak akan direkam otak dan terbawa sampai dewasa, karena 90% perkembangan otak terjadi pada usia di bawah 7 tahun. Jadi, apabila ingin anak mempunyai rasa percaya diri untuk dapat menjelajahi kehidupannya kelak ketika dewasa, berikan sebanyaknya pengalaman positif, yaitu dengan menggantikan kata-kata “jangan” atau “tidak boleh”, dengan kata-kata yang dapat membangun rasa percaya dirinya. Berikut ini beberapa alternatif untuk mengganti kata “jangan”:

  • Ubahlah kata-kata Anda. Anak akan memberikan respon yang lebih baik bila kita menggunakan kata-kata positif. Daripada berteriak, “Awas, jangan main bola di ruang tamu!”, kita dapat berkata, “Ayo main bola di halaman, karena kalau di dalam ruangan bisa kena kaca jendela, nanti bisa pecah.” Atau, “Tidak boleh mencoret-coret meja!”, kita dapat memberikan kertas, “Kalau menggambar bisa di atas kertas, karena meja bisa kotor dan sulit untuk membersihkannya.” Apabila anak dalam keadaan bahaya sehingga memerlukan reaksi cepat, kita dapat menggantikan kata-kata spontan “Stop, ada mobil!”, “Panas sekali” “Bahaya.”
  • Berikan pilihan. Pada periode ini anak ingin mengekspresikan keinginannya atau ingin memegang kendali. Misalnya, anak ingin memilih baju yang tidak tepat dengan situasi (memakai baju olahraga untuk pergi ke pesta), orangtua bisa memberikan tiga pilihan baju yang tepat, dan biarkan anak memilihnya.

    Apabila anak ingin makan permen sebelum waktu makan malam, orangtua bisa memberikan pilihan, “Mau permen cokelat setelah makan malam, atau permen rasa jeruk setelah makan malam?”

    Apabila anak sedang asyik bermain dan Anda ingin menyuruhnya mandi, berikan pilihan “Nak…mau mandi 5 menit atau 10 menit lagi?”

    Dengan cara ini anak merasa dihargai pendapatnya dan merasa mampu untuk mengambil keputusan dan memegang kendali, walaupun sebetulnya ia sedang mematuhi perintah orangtuanya.

  • Siapkan lingkungan agar terhindar dari kata-kata “jangan”. Orangtua yang mempunyai anak balita harus menyiapkan lingkungan yang aman bagi anak, sehingga kata-kata “jangan” tidak akan terlontar. Misalnya, pindahkan benda-benda yang berbahaya bagi anak dan berikan lingkungan yang membuat anak bebas bereksplorasi secara aman.
  • Jangan pedulikan hal-hal yang kecil. Biarkan anak bereksplorasi dan mencoba apa saja. Sejauh hal tersebut tak membahayakan dan dapat membuat anak gembira dan penuh semangat, sebaiknya jangan dilarang. Misalnya, mereka ingin bermain pasir atau tanah, jangan takut kotor, karena mereka bisa mandi dan ganti baju. Atau, biarkan anak ingin tidur dengan baju barunya untuk ke pesta, karena sedang gembira mendapatkan baju baru.
  • Ubahlah persepsi Anda terhadap kelakuan anak. Kelakuan mereka yang terkadang membuat orangtua kesal (misalnya melempar gelas, merusak mainan) sebagai tindakan kreatif karena sedang mencoba sesuatu. Anda bisa menerangkan pada mereka bahwa gelas yang pecah itu harganya mahal, kasihan Papa yang bekerja keras untuk mencari uang. Atau, belilah mainan yang tak terlalu mahal, dan siapkan diri Anda bahwa mainan tersebut akan dibongkar oleh anak. Semakin besar anak, semakin mengerti ia untuk tidak merusak mainannya.
  • Berkata “jangan” secara tepat. Tentu saja kata “jangan” masih perlu dipakai apabila memang menyangkut perilaku anak yang serius. Apabila memang diperlukan katakan dengan tegas, tapi tak dengan bentakan. Misalnya, “Tidak boleh menarik ekor kucing, kasihan kucingnya kesakitan.” Berikan pujian apabila ia merespon larangan Anda, misalnya dengan senyum atau pelukan, “Mama senang, ternyata kamu mau mendengarkan Mama.”
Selasa, 25 September 2007

Mimisan

dikutip dari : http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=14567

PERIKSAKAN JIKA TAK INGIN KEBABLASAN


Mimisan memang bukan penyakit baru. Keluarnya darah dari hidung ini tak jarang hanya dianggap sekadar panas dalam oleh masyarakat awam. Jika terjadi berulang-ulang, waspadalah. Bisa saja itu merupakan gejala penyakit yang lebih serius.

Mimisan alias keluarnya darah dari hidung atau terjadinya perdarahan di hidung, bisa saja terjadi secara spontan. Misalnya, akibat trauma atau terbentur, dikorek-korek oleh jari tangan , atau masuknya benda asing masuk ke dalam hidung. Sebaliknya, ada juga darah yang keluar dari lubang hidung tanpa diketahui, misalnya ketika sedang tidur, berolah raga, atau di mana saja. Kejadian ini dikenal dengan mimisan atau istilah medisnya epistaksis.

KLIK - Detail Dari penyebabnya, jelas Dr. Chospiadi Irawan, SpPD, KHOM, mimisan dibedakan menjadi dua bagian. "Yang pertama disebabkan faktor organik atau adanya kelainan organ dan kedua adalah gangguan medik atau adanya gangguan pembekuan darah." Mimisan karena kelainan organ bawaan akan terlihat sejak usia dini. Anak dipastikan sering mengalami mimisan. Biasanya terjadi pada usia balita atau anak usia aktif.

Begitu anak stres, beraktivitas, dan teriritasi, ia mimisan. Mungkin si kecil memiliki kelemahan pada organ hidung atau pembuluh darah hidungnya. "Namun, idealnya, sejak anak-anak tidak terjadi mimisan karena orang normal memiliki toleransi terhadap suhu di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, ia punya daya tahan tubuh yang baik."

Pemicu terjadinya mimisan pun tergantung dari kedua penyebab di atas. Jika disebabkan kelainan organik, biasanya mimisan terjadi akibat adanya rangsangan dari zat-zat yang mengandung toxic (racun) atau gas, suhu yang ekstrem, misalnya udara yang sangat panas dan kering, serta udara yang sangat dingin. Kondisi-kondisi tersebut dapat mengakibatkan iritasi atau erosi pada pembuluh darah di dalam hidung.

Pada beberapa kondisi, mimisan umumnya diakibatkan oleh kelemahan-kelemahan bawaan. Misalnya, pembuluh darah di hidungnya melebar (varises) atau justru tipis (aneurisma). "Bisa juga karena pembuluh darahnya rapuh dan lebih ramai, sehingga lebih mudah mengalami iritasi hanya dengan pemicu yang ringan saja."

Yang berikut, mimisan yang disebabkan gangguan medik atau adanya gangguan pembekuan darah. Pada prinsipnya, ujar Chospiadi, saat sedang beraktivitas sehari-hari, manusia membutuhkan faktor pemeliharaan pembekuan darah. Baik secara primer maupun sekunder. "Yang primer adalah pembuluh darahnya dan trombosit. Trombosit adalah sel-sel darah merah yang bereaksi pertama kali ketika terjadi luka. Analoginya, pada kasus demam berdarah trombosit menjadi rendah karena dimakan oleh virus. Nah, setelah ia bereaksi menutup luka, lalu ia memicu faktor yang kedua, yaitu pembekuan darah. Pada umumnya mimisan itu terjadi pada gangguan primer, yaitu pada pembuluh darah dan trombosit."

Bagi manusia normal, lanjutnya, pada kondisi tertentu masih bisa menolerir suhu-suhu yang ekstrem. "Orang normal, pergi ke puncak Gunung Himalaya enggak akan terkena mimisan. Begitu pun ia akan tenang-tenang saja ketika berlari di padang yang panas dan kering. Sebab, dia dapat beradaptasi dengan suhu di sekitarnya. Misalnya, pembuluh darahnya akan menyempit sendiri ketika berada di suhu yang dingin dan sebaliknya."

BUKAN TURUNAN
Mimisan karena kelainan organik biasanya terjadi secara uniteral atau asimetris, di mana darah hanya keluar dari salah satu lubang hidung. Bisa dari kiri atau kanan saja. "Namun, jika mimisannya karena gangguan medik, perdarahan bisa terjadi berganti-ganti pada dua sisi hidung," jelas Chospiadi.

Mimisan yang disebabkan gangguan medik inilah yang patut diperhatikan lebih lanjut. Sebab, bisa saja merupakan sebuah gejala bagi suatu penyakit yang lebih serius. Misalnya, pada demam berdarah yang menimbulkan gejala penyakit yang menganggu trombosit dan pembuluh darah. "Jika mengalami demam lebih dari tiga hari, lalu keluar bintik-bintik merah di kulit dan dibarengi dengan mimisan, tentu harus semakin wasapada. Ini biasa terjadi pada demam berdarah stadium yang lebih tinggi."

Bagi orang normal yang tadinya sehat-sehat saja lalu mendadak mimisan, misalnya saat sedang tidur atau berolah raga dan dibarengi dengan demam, ia harus waspada. Mimisan seperti ini, tutur Chospiadi, arahnya sudah ke gangguan medik. "Jika orang itu tiba-tiba kulitnya membiru di beberapa bagian disertai mimisan, bisa saja itu gejala leukemia (kanker darah)."

Mimisan yang terjadi berulang-ulang pun harus diwaspadai. Pertama-tama, periksakan ke ahli THT (telinga hidung tenggorokan). Setelah dievaluasi dan ternyata terjadi infeksi lokal, dokter pasti akan mengatasi atau mengobati erosi akibat infeksi lokalnya terlebih dahulu. Mimisan ini biasa terjadi pada anak-anak yang sering mengorek-korek hidungnya dengan tangan. "Karena dikorek-korek, timbul peradangan atau kerusakan jaringan. Agar lebih pasti apa penyebab mimisannya, memang lebih baik ke dokter untuk memastikan ada-tidaknya tumor di rongga hidung. Evaluasi dini akan mempercepat penyembuhan."

Jika tak ditemukan kelainan organik, biasanya dokter THT mengirim pasien ke ahli penyakit dalam atau hematolog (ahli darah) untuk mengecek ada-tidaknya kelainan pembekuan darah di pembuluh darah hidungnya. Gangguan pembekuan darah salah satunya terlihat dari jumlah trombosit yang terlalu sedikit. "Jika memang begitu, akan dicari tahu dulu kenapa sampai trombositnya sedikit, setelah itu baru diobati."

Yang jelas, hinggga kini belum ada bukti atau data baru dari dunia kedokteran yang menyatakan mimisan dapat diturunkan (genetik). "Pada umumnya, mimisan terjadi secara sporadik dan bisa terjadi pada siapa saja." Meski, kata Chospiadi, jika orangtuanya memiliki pembuluh darah yang lemah, kendati tidak mutlak, "Bisa saja salah satu anaknya akan memiliki pembuluh darah yang lemah juga. Berdasar pengalaman, mungkin saja hal itu bisa menjadi bahan pertimbangan, meski itu pun belum terbukti. Kasus yang banyak ditemui pada umumnya bersifat sporadis. Misalnya, jika gangguannya pada trombosit, salah satunya adalah penyakit ITP (immune thrombocytopenic purpura), yaitu suatu kondisi di mana trombositnya (darah merah) menurun karena dimakan oleh antibodi atau reaksi tubuhnya sendiri yang menghancurkan trombositnya."
Senin, 24 September 2007

CEGAH TBC SEJAK DINI

CEGAH TBC SEJAK DINI


dikutip dari : http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=08376&rubrik=sehat

Efektivitas vaksin penangkal TBC tidak mencapai 100%, tapi mengapa wajib untuk bayi?

TBC atau TB saat ini telah berkembang menjadi penyakit infeksi global dan pembunuh nomor satu di dunia. Tidak kurang dari 8 juta orang terjangkit tiap tahunnya, 2 juta di antaranya meninggal dunia. Jumlah pasien TB (tuberkulosis) di Indonesia menempati posisi ketiga di dunia setelah India dan Cina. Sungguh sangat menyedihkan.
Itulah alasan mengapa pencegahan sedini mungkin harus dilakukan. Caranya dengan memberikan suntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin) di usia bayi. Vaksin yang ditemukan oleh Dr. Albert Calmette dan peneliti bernama Camille Guerin pada 24 April 1927 ini, mengandung kuman TB yang masih hidup tapi sudah dilemahkan.

Namun sebagaimana lazimnya usaha manusia, tidak ada pencegahan yang sempurna. Demikian pula dengan vaksin BCG yang tidak memiliki efektivitas 100% untuk mencegah penyakit TB. Karenanya, pemberian vaksin ini hanya merupakan tindakan memperkecil risiko tertular.

Jadi tetap saja, seorang anak yang telah mendapatkan vaksin BCG masih bisa tertulari. Misal, bila daya tahan tubuh anak sedang menurun dan berlangsung kontak terus-menerus dengan penderita TB. Otomatis si anak selalu mendapat semprotan kuman Mycobacterium tuberculosis, agen utama penyebab penyakit TB. Atau, bisa jadi kuman yang ditularkan sangat ganas dan sangat banyak sehingga memengaruhi benteng pertahanan anak.

Fakta tersebut tentu saja memancing pertanyaan, kalau begitu untuk apa dilakukan vaksinasi BCG? Toh, kemungkinan tertular TB tetap ada. Eit, nanti dulu, vaksinasi jelas berguna! Kalaupun anak-anak penerima vaksin BCG tertular bakteri TB, kondisinya tidak separah pada penderita tanpa vaksin BCG.

Jelas, imunisasi BCG tetap bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan tertular sekaligus memperingan gejala bila terjangkit TB.

Hal penting lain untuk mencegah penularan TBC adalah menghindari anak melakukan kontak langsung dengan penderita TB dewasa. Kuman penyebab TB mudah sekali menular melalui droplet (butir-butiran air di udara) yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin.

Konsultan ahli:

Dr. Darmawan Budi Setyanto, SpA(K),

ahli Respirologi Anak dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

VAKSIN BCG BERAPA KALI?

* Jumlah Pemberian

Cukup 1 kali, karena vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang terbentuk akan memiliki kualitas yang sama dengan yang terinfeksi secara alami. Oleh karena itu, antibodi yang dihasilkan melalui vaksinasi sudah tinggi. Berbeda dari vaksin yang berisi kuman mati, umumnya memerlukan booster atau pengulangan.

* Usia Pemberian

Kelompok umur yang rentan terserang TB adalah usia balita, terutama usia kurang dari 1 tahun. Hal ini disebabkan anak umumnya punya hubungan erat dengan penderita TB dewasa, seperti dengan ibu, bapak, nenek, kakek, dan orang lain yang serumah. Karena itulah, vaksin BCG sudah diberikan kepada anak sejak berusia kurang dari 1 tahun, yaitu usia 2 bulan. Di usia ini sistem imun tubuh anak sudah cukup matang untuk mendapat vaksin BCG. Namun, bila ada anggota keluarga yang tinggal serumah atau kerabat yang sering berkunjung ke rumah menderita TB, maka ada baiknya bayi segera diimunisasi BCG setelah lahir.

Bila umur bayi sudah terlewat dari 2 bulan, sebelum dilakukan vaksinasi hendaknya jalani dulu tes Mantoux (tuberkulin). Gunanya untuk mengetahui, apakah tubuh si anak sudah kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi BCG dilakukan apabila tes Mantoux negatif.

* Lokasi Penyuntikan

Yang dianjurkan oleh WHO adalah di lengan kanan atas. Cara menyuntikkannya pun membutuhkan keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal. Para orangtua juga tak perlu khawatir dengan luka parut yang bakal timbul di lengan, karena umumnya luka parut tersebut tidaklah besar. Jadi tidak akan merusak estetika keindahan lengan anak Anda kelak.

* Berikan Vaksin Saat Anak Sehat

Tak perlu ragu melakukan vaksinasi bila anak hanya sekadar batuk pilek. Vaksinasi sebaiknya ditunda dulu apabila anak demam tinggi atau sedang menderita penyakit yang berat (misalnya sampai perlu perawatan di rumah sakit). Alangkah baiknya bila melakukan konsultasi terlebih dahulu kepada yang lebih ahli sebelum melakukan vaksinasi.

* Tanda Keberhasilan Vaksinasi

Tanda keberhasilan vaksinasi BCG berupa bisul kecil dan bernanah pada daerah bekas suntikan yang muncul setelah 4-6 minggu. Benjolan atau bisul setelah vaksinasi BCG memiliki ciri yang sangat khas dan berbeda dari bisul pada umumnya. Bisul tersebut tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan bila disentuh pun tidak terasa sakit. Tak hanya itu, munculnya bisul juga tak diiringi panas. Selanjutnya, bisul tersebut akan mengempis dan membentuk luka parut.

* Bila Ada Reaksi Berlebih

Tingkatkan kewaspadaan bila ternyata muncul reaksi berlebih pascavaksinasi BCG. Misal, benjolan atau bisul itu lama tidak sembuh-sembuh dan menjadi koreng. Atau, malah ada pembengkakan pada kelenjar di ketiak (sekelan). Ini dapat merupakan pertanda si anak pernah terinfeksi TB sehingga menimbulkan reaksi berlebih setelah divaksin. Sebaiknya segera periksakan kembali ke dokter.

Penting diketahui, setiap infeksi selalu diikuti oleh pembesaran kelenjar limfe setempat (regional) sehingga bisa diraba. Jadi infeksi ringan akibat vaksinasi di lengan atas akan menyebabkan pembesaran kelenjar limfe ketiak. Jika infeksi terjadi pada pangkal paha, akan terjadi pembesaran kelenjar limfe di lipatan paha. Namun efek samping ini tidak terjadi pada semua bayi. Yang berisiko apabila bayi tersebut sudah terinfeksi TB sebelum vaksinasi.

* Bila Tak Timbul Benjolan

Orangtua tak perlu khawatir bila ternyata tidak muncul bisul/benjolan di daerah suntik. Jangan langsung beranggapan bahwa vaksinasinya gagal. Bisa saja itu terjadi karena kadar antibodinya terlalu rendah, dosis terlalu rendah, daya tahan anak sedang menurun (misalnya anak dengan gizi buruk) atau kualitas vaksinnya kurang baik akibat cara penyimpanan yang salah.

Meski begitu, antibodi tetap terbentuk tetapi dalam kadar yang rendah. Jangan khawatir, di daerah endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) seperti Indonesia, infeksi alamiah akan selalu ada. Booster-nya (ulangan vaksinasi) bisa didapat dari alam, asalkan anak pernah divaksinasi sebelumnya.

Konsultan ahli:

Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S Hadinegoro, Sp.A(K),

Staf pengajar pada Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI dan

Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Utami Sri Rahayu. Foto: Dok. nakita

Minggu, 23 September 2007

Disentri pada balita

Seorang anak rekan saya terkena disentri, karenanya untuk pencegahan dan pengobatan saya posting artikel tentang disentri yang ditulis oleh Ibu Ida Arimurti. Untuk pencegahan, jaga kebersihan, hindari mengkonsumsi makanan kurang bersih, cuci tangan sebelum makan dan masak, jangan main di tempat kotor. Berikut lengkapnya,

DISENTRI PADA BALITA
dikutip dari http://ferdirn.blogspot.com/2007/06/disentri-pada-balita.html


Bila sikecil tampak lemas karena bolak balik buang air besar disertai
suhu
tubuh yang tinggi dan nyeri tiap mengeluarkan kotoran dan feses
dibarengin
darah dan lendir , kalau iya maka ini merupakan gejala disentri. Menurut

dr.Hadjat S. darah dan lendir adalah gejala disentri yang paling utama.
Sindroma disentri dapat disebabkan oleh semua mikroba, bakteri atau
parasit.
Bisa juga karena intoleransi laktosa . Sindroma disentri umumnya
disebabkan
karena adanya kuman shigella dan parasit entamoeba histolityca, walau
kuman
penyebabnya berbeda namun kedua infeksi itu menunjukkan adanya feses
berdarah
dan berlendir. Sindroma disentri merupakan salah satu jenis diare akut.

Sindroma disentri dapat menular melalui berbagai cara dan media,
sindrome ini
banyak dialami dimasa balita, namun jarang menimpa anak usia dibawah
satu tahun
karena pada usia ini pengawasan orang tua sangatlah ketat.

Komplikasi Disentri

komplikasi disentri biasa terjadi akibat adanya faktor resiko pada anak
yang
tidak mendapat ASI, berstatus gizi buruk atau sedang menderita campak.
Komplikasi berawal dari melunaknya dinding usus sehingga bakteri
shigella dapat
menginvasi jauh kedalam, luka yang terjadi didinding usus menjadi
semakin parah
karena tercemar racun yang dihasilkan bakteri tadi, sehingga memicu
terjadinya
perforasi usus atau usus pecah yang ditandai dengan feses bercampur
darah.

Pengobatan

Dokter akan memberikan antibiotik sesuai dengan gambaran klinis diare,
tes
laboratorium diperlukan untuk mengetahui tanda2 ketahanan kuman dan
jenis
disentri. Namun biasanya dokter akan memberikan antibiotik selama 5-7
hari.

Pemberian makanan untuk penderita disentri haruslah yang lunak dan tidak

memiliki rasa yang tajam, serta harus berprotein tinggi karena
diperlukan untuk
proses penyembuhan, pemberian air minum yang banyak sangat dianjurkan
agar
tidak terjadi dehidrasi.

Kondisi bertambah parah

Apabila kondisi si sakit makin lemah, tidur terus menerus, perut
kembung,demam
tak kunjung turun, diare yang makin sering disertai darah yang banyak
segeralah
bawa anak ke rumah sakit mungkin telah terjadi komplikasi, dalam hal ini
maka
pasien perlu penangan lebih jauh dan perawatan intensif di rumah sakit.

DIARE

Diare merupakan keadaan dimana seseorang menderita
mencret-mencret,tinjanya
encer dan kadang muntah-muntah. Diare juga disebut dengan muntaber
(muntah berak),
muntah mencret atau muntah bocor, kadang tinja penderita mengandung
darah dan lendir dan diare juga menyebabkan cairan tubuh terkuras keluar
melalui tinja.

Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini
dapat
menyebabkan kematian terutama pada bayi dan anak-anak usia dibawah lima
tahun.

Penyebab diare

penyebab diare yang terpenting adalah:

-karena adanya peradangan usus: karena kolera, disentri, bakteri-bakteri
lain, virus dsb.
-karena kekurangan gizi: kelaparan, kekurangan zat putih telur -karena
keracunan makanan
-karena tak tahan makanan tertentu: karena bayi/anak tak tahan meminum
susu yang mengandung lemak atau laktosa.

Terjadinya diare

Diare dapat ditularkan melalui tinja yang mengandung kuman diare. Air
sumur
atau air tanah yang telah tercemar kuman diare, atau makanan dan minuman
yang
telah terkontaminasi kuman diare, atau tidak mencuci tangan sebelum
memberikan
makan/minum pada bayi/anak, memasak dll yang tanpa disadari sebenarnya
tangan
telah terkontaminasi kuman diare yang tak tampak oleh mata telanjang.

Cara menolong penderita diare

Minumlah garam oralit untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan tubuh
karena
diare, minumlah cairan oralit sebanyak mungkin penderita mau. Berikan
minuman/
jus buah yang disukai anak, tetap susui bayi yang menderita diare karen
asi
terbukti memberikan perlindungan dan ketahanan bagi anak.

Bila diare tidak kunjung berhenti segeralah bawa anak ke rumah sakit
terdekat
untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Cara mencegah diare

-Buang airlah ditempatnya dan tidak disembarang tempat, latih anak untuk
buang air dikakus
-Cuci tangan sebelum makan dan sesudah makan.
-Cuci tangan sebelum memasak makanan dan pastikan tangan anda selalu
bersih
ketika memberikan makan pada bayi atau balita. Pastikan peralatan makan
dan
minum anak bersih dan tidak terkontaminasi kuman apapun juga.
-Untuk bayi usahakan Selalu memasak/merebus peralatan makan dan minumnya
terlebih dahulu.
-Minum dan makanlah makanan yang sudah dimasak. Hindari memberikan
makanan setengah masak/setengah matang pada anak.
-Pastikan air yang dimasak benar-benar mendidih.
-Berikanlah ASI selama mungkin kepada anak, disamping pemberian makanan
lainnya.
-Bayi yang minum susu botol lebih mudah terserang diare dari pada bayi
yang disusui ibunya.
-Tetap menyusui anak walaupun anak terserang diare.
-Pastikan tangan sipengasuh tetap bersih ketika mengasuh anak atau
memberikan makan dan minum pada anak.
-Jaga kebersihan diri dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.
Jumat, 21 September 2007

Kolik

Kolik pada Bayi Buat halaman ini dlm format PDF Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
dikutip dari : http://www.halalguide.info/content/view/497/70/
Friday, 15 September 2006

Penulis: Agus Firmansyah

ImageBayi menangis merupakan hal yang lumrah. Tetapi bila tangisnya sukar dihentikan dan terjadi berjam-jam tentulah akan membuat waswas orangtua. Apa yang salah pada bayi ini?

Menangis merupakan cara bayi menyatakan lapar, rasa tidak nyaman, lelah,nyeri dan takut. Rasa tidak nyaman timbul bila bayi kencing, berhajat, kegerahan, kedinginan, gatal, dan sebagainya. Pada bayi normal, sampai ia berusia kira-kira 6 minggu biasanya frekuensi menangisnya tinggi, dan kemudian berangsur-angsur berkurang sampai ia berusia 4 bulan. Dan pada usia selanjutnya, bayi umumnya hanya menangis pada sore atau malam hari.

Bayi menangis berlebihan

Bila bayi menangis secara berlebihan, ini bisa merupakan gejala bahwa ia menderita berbagai penyakit atau keadaan tertentu. Beberapa penyebab yang penting dan memerlukan tindakan segera di antaranya adalah radang telinga, infeksi saluran kemih, nyeri akibat jatuh, volvulus (usus berputar), invaginasi (satu bagian usus masuk ke dalam bagian usus yang lainnya sehingga menimbulkan sumbatan usus), hernia inkarserata (kondor yang tidak masuk lagi dan terjepit), torsio testis (buah zakar terputar), dan acute abdomen (keadaan gawat perut). Namun biasanya penyakit-penyakit serius ini disertai dengan gejala atau tanda lain, sehingga dokter yang berpengalaman akan dapat mendeteksinya.

Di samping itu, beberapa gangguan saluran cerna juga sering menyebabkan bayi menangis berkepanjangan. Bayi yang lapar tentu akan menangis terus sampai di beri minum. Sebaliknya, pemberian makan dan minum yang berlebihan juga akan membuat bayi menangis berkepanjangan karena perutnya terlampau teregang dan menimbulkan nyeri perut. Demikian pula bila bayi terlalu banyak menelan udara, akibat kesalahan teknik waktu menyusui atau memberikan susu botol, misalnya. Bayi yang mengalami sembelit juga sering menangis berlebihan.

Bila tidak ditemukan kelainan-kelainan organik seperti di atas yang membahayakan jiwa bayi, maka menangis yang berlebihan pada bayi disebut kolik.

Gejala Kolik pada bayi

Kolik menyerang kira-kira 15-25% bayi. Sampai saat ini, penyebab terjadinya kolik pada bayi masih merupakan misteri. Sudah banyak ahli yang meneliti masalah ini, tapi tampaknya belum ada hasil yang memuaskan. Gejala kolik biasanya dimulai dengan muka yang memerah atau mimik wajah yang tampak aneh, diikuti dengan menarik kaki ke atas, lalu menangis kuat yang bisa berlangsung selama beberapa jam. Semua tanda-tanda tersebut terjadi karena perut bayi kejang.

Serangan kolik pada bayi biasanya dimulai pada saat ia berumur beberapa minggu, dan berakhir atau sembuh dalam waktu 3-4 bulan. Meskipun sering terjadi pada malam hari di sekitar waktu makan malam, serangan kolik ini dapat pula terjadi terputus-putus pada siang hari. Di luar waktu serangan, biasanya bayi dapat tidur dengan nyenyak.

Bagaimana mengatasi kolik pada bayi ?

Hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah berkonsultasi dengan dokter anak. Bila tidak ditemukan penyakit berbahaya seperti yang telah disebutkan, maka dokter akan mencari kemungkinan lain, yang biasanya berhubungan dengan pencernaan.
Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani kolik pada bayi

  • Mendiamkan bayi menangis

    Banyak cara yang dapat dilakukan orang tua untuk menenangkan bayinya yang menangis. Cara tradisional dengan menaruhnya dalam ayunan, atau mengajak bayi berjalan-jalan dalam kereta dorongnya sering merupakan cara yang efektif. Bisa juga Anda mengajaknya bermobil mengitari blok rumah. Cara terakhir ini sebenarnya merupakan kombinasi dari 2 cara pertama, yaitu mengayun dan berjalan-jalan.

Suara kipas angin, musik, atau vacuum cleaner sering pula efektif untuk menenangkan bayi. Tampaknya bunyi-bunyian tersebut mirip bunyi-bunyian dalam kandungan ibu. Beberapa ahli menganjurkan pula pemijatan ringan di daerah kolik pada bayi.

  • Perhatikan teknik menyusui

    Untuk menghindari kolik, bila menyusui bayi, pastikan mulut bayi melekat pas pada puting susu ibu. Bila tidak pas, selain bayi akan menelan udara berlebihan, ASI yang dikonsumsi bayi juga akan kurang. Di samping itu, jika bayi menyusu hanya sekejap pada tiap payudara, kepuasan menyusu pada bayi juga akan berkurang. Ini karena bayi hanya minum susu awal, yang banyak mengandung aktosa (gula susu), tetapi rendah kandungan lemak dan proteinnya. Padahal, masukan laktosa yang tinggi bisa menimbulkan gangguan penyerapan laktosa, yang bisa mengakibatkan bayi mengalami kembung dan nyeri perut.

  • Diet ibu

    Penelitian menunjukkan bahwa sekitar sepertiga kasus kolik pada bayi disebabkan oleh alergi terhadap protein susu sapi. Senyawa ini dapat ditemukan pada ASI dari ibu yang mengkonsumsi susu sapi. Dalam kondisi ini, sebaiknya ibu tidak mengkonsumsi susu sapi. Bila kemudian kondisi bayi ternyata membaik, maka diet ibu yang bebas susu sapi harus terus dipertahankan selama 3-4 minggu atau mungkin lebih. Namun, bila dengan cara ini ternyata kolik pada bayi tidak mereda dalam waktu 4-5 hari, maka ibu dapat kembali ke diet semula.
    Karena berarti kolik itu bukan disebabkan oleh diet ibu.

  • Bayi yang tidak minum ASI

    Pada bayi yang minum susu formula (susu botol), perlu diperhatikan apakah teknik pemberian susu botol sudah betul.
    Pastikan pengenceran susu sudah dilakukan sesuai dengan petunjuk pabrik. Jika susu terlalu encer akan menimbulkan rasa lapar. Sedangkan jika susu terlalu pekat akan menimbulkan diare dan kembung. Pastikan pula bahwa bayi cukup mengkonsumsi susu, sesuai dengan yang dibutuhkannya. Sebagai patokan, bayi harus minum sedikitnya 150 ml perkilogram berat badan per 24 jam. Perlu pula diperhatikan apakah dot yang dipakai cocok untuk mulut bayi Anda dan lubang dotnya cukup lebar untuk mengalirkan susu. Sempitnya lubang dot membuat bayi kelihatan rakus menghisap tetapi justru udara yang banyak tertelan.

Pada 2-5% kasus, kolik pada bayi disebabkan oleh intoleransi susu sapi. Selain kolik, gejala lain yang timbul adalah diare dan berat badan sukar naik. Pada keadaan ini bila bayi tidak diberi ASI, maka diperlukan susu formula yang tidak mengandung protein susu sapi atau formula susu kedele.

  • Hindari berganti-ganti susu formula

    Menukar-nukar susu tanpa konsultasi dengan dokter sering dilakukan ibu yang frustasi melihat anaknya menangis terus. Sebenarnya, tanpa indikasi yang jelas, tindakan mengganti-ganti susu ini tidak bermanfaat.
  • Hindari penggunaan sembarang obat

    Penggunaan obat dalam mengatasi kolik pada bayi amat terbatas. Bermacam-macam obat telah dicoba, tetapi hasilnya mengecewakan. Selain tidak bermanfaat, pemberian obat juga dapat memberikan efek samping yang membahayakan.

  • Dukungan keluarga
    Perlu diingat bahwa kolik pada bayi dapat menimbulkan perasaan stres yang amat besar bagi seluruh anggota keluarga. Mereka akan merasa bersalah dan gagal, karena upaya untuk menenangkan nbayi tampak sia-sia, dan bahkan menambah tangis sang bayi. Pada keadaan ini dukungan keluarga atau teman amat dibutuhkan. Carilah seseorang yang dapat diajak berbagi perasaan atau penderitaan. Menitipkan bayi untuk sementara waktu pada orang lain (ibu, mertua, atau baby sitter) mungkin bermanfaat, agar orang tua dapat santai sejenak, terlepas dari situasi tegang tersebut.

Penting sekali menangani bayi kolik sedini mungkin. Karena, perasaan yang tidak menyenangkan, tentu bukan merupakan awal yang baik untuk menempuh kehidupan selanjutnya.

Sumber: idai.or.id

RADANG TENGGOROKAN


RADANG TENGGOROKAN




Anda pernah pusing kepala karena anak kita demam, lesu, tidak mau makan, dan mengeluh sakit waktu menelan? Apalagi gejalanya ditambah dengan rewel, hidung mampet atau justru tidak berhenti meler, dan nyeri di telinganya! Rasanya ingin ada obat ajaib yang bisa membuat anak sembuh dalam sekejap. Simsalabim! Wah tunggu dulu...
Mungkin hampir seluruh orang tua pernah pergi ke dokter dan anaknya didiagnosis radang tenggorokan dengan gejala tersebut diatas. Mungkin kemudian kita pulang dengan sederet obat atau. mungkin juga tidak. ]adi sebenarnya, apa sin yang periu kita waspadai tentang radang tenggorokan yang terkenal ini?

Sekelumit Fakta nya...

Anak bisa sangat sering terserang infeksi saluran napas atas, termasuk radang tenggorokan dan ternyata sekitar 90% dari kasus radang tenggorokan yang disertai hidung berair, demam, dan nyeri telinga disebabkan oleh virus! Bakteri menjadi penyebab dari 10% kasus sisanya. Karena hampir seluruh kasus disebabkan oleh virus, maka antibiotik biasanya tidak diperlukan. Infeksi oleh virus (misalnya: batuk-pilek, radang tenggorokan) sama sekali tidak bisa disembuhkan dengan antibiotik. Infeksi virus akan sembuh dengan sendirinya, tubuh akan melawan dengan sistem kekebalan tubuh. Penggunaan antibiotik yang berlebihan justru akan merugikan karena akan membuat anak menjadi resisten dan antibiotik menjadi tidak mempan untuk melawan infeksi saat dibutuhkan. Jadi, mari kita simpan antibiotik ini untuk "perang" yang lebih hebat bila diperlukan. Save the best for last, istilahnya.

Pada 10% kasus sisanya bakteri penyebab radang tenggorokan tersering adalah Streptokokus. Gejala infeksi bakteri ini adalah tenggorokan yang berwarna merah daging dan tonsil yang mengeluarkan cairan. Untuk mendiagnosis bakteri ini sebagai penyebab secara past! adalah dengan melakukan usap tenggorok untuk kemudian dikultur serta dilakukan pemeriksaan darah. Hanya untuk kasus yang disebabkan bakteri saja antibiotik diperlukan.
Bila anak menjadi gelisah, rewel, sulit tidur, lemah, atau lesu karena gejala radang tenggorokan ini, kita dapat membantu meredakan gejalanya. Tidak harus selalu dengan obat, mungkin dengan tindakan yang mudah dan sederhana bisa membantu menenangkan anak:
Nyeri menelan: banyak minum air hangat, obat kumur, lozenges, parasetamol untuk meredakan nyeri.

Demam : banyak minum, parasetamol, kompres hangat atau seka tubuh dengan air hangat.
Hidung tersumbat dan berair (meler): banyak minum hangat, anak diuap dengan baskom air hangat, tetes hidung NaCI.
]angan terlalu cemas bila anak tidak langsung sembuh dalam 1 atau 2 hari, karena dalam beberapa kasus, radang tenggorokan karena virus baru sembuh setelah 2 minggu. Yang diperlukan adalah kesabaran dan pengawasan orang tua terhadap gejala anak. Bawalah anak ke dokter bila gejala terlihat makin berat; anak tampak sulit bernapas, kebiruan pada bibir dan/atau kuku, anak tampak gelisah atau justru sangat mengantuk, atau anak batuk/demam berkepanjangan.

Selamat menjadi Smart Parent!

Sumber:

  1. Bernan S, Johnson C, Chan K, Kelley P. Ear, Nose, and Throat, in Current Pediatric and Treatment. 15th ed. Hay WW, Hayward AR, Levin M], Sondheimer JM (ed). New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2001. p 419-20.
  2. Using Antibiotic Sensibly. http://www.mayoclinic.com/invoke.cfm?id=FL00075
  3. Antibiotic: When They Can and Can't Help. American Family Physician, http://www.familydoctor.org.
  4. Sore Throat And Fever: Average Number in Children? http://www.mayoclinic.com/invoke.cfm?id = HQ00291
  5. pesat3 : Masalah-Masalah Kesehatan Umum Pada Anak oleh dr Purnamawati S Pujiarto SpAK.MMPed

AYO TANGKAL TBC

AYO TANGKAL TBC
dikutip dari : http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php3?edisi=06311&rubrik=sehat


Jika tak diobati secara tuntas, bakteri TBC tak cuma betah bersarang di paru-paru. Organ-organ vital tubuh seperti otak, usus, ginjal dan tulang, menjadi sasaran penyebaran yang akan berakhir dengan kerusakan.

"Setiap tahun ada sekitar 500.000 penderita TBC baru di Indonesia. Dari jumlah itu, 425 penderita meninggal setiap harinya," demikian diungkapkan Fajar Arif Budiman dari Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS). Tak heran, jika data tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penderita TBC tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan Cina. "Tingginya populasi penderita penyakit ini selain karena faktor gizi yang buruk, juga rendahnya kesadaran masyarakat untuk berobat. Padahal, pemerintah sudah menyediakan pengobatan gratis bagi para penderita."

Fajar menyangkal bila penyakit yang awalnya menyerang paru-paru ini dikatakan hanya dialami kalangan miskin. Pendapat tersebut diiyakan oleh dr. H.M. Vinci Gazali, Sp.A. Menurutnya, angka penderita TBC akan meningkat seiring dengan melemahnya kondisi ekonomi negara. Di Indonesia, contohnya, jumlah penderita meningkat ketika negara dihantam krisis moneter.

Jumlah penderita TBC juga cenderung meningkat seiring makin banyaknya pengidap HIV/AIDS. Lo, kenapa begitu? Dokter anak dari RS MMC, Kuningan, Jakarta ini menjelaskan, bakteri TBC hanya bisa ditangkal sel-sel darah putih. Karenanya, jika ada kerusakan sel darah putih atau jumlah sel darah putih dalam tubuh kurang, apa pun penyebabnya, maka yang bersangkutan berisiko tinggi terkena TBC. "Minimnya jumlah sel darah putih seperti pada penderita HIV/AIDS membuat sistem pertahanan tubuh tidak optimal hingga mudah diserang oleh bakteri TBC."

Gejala utama TBC pada anak umumnya hanya berupa demam ringan namun berlangsung lama. Sedikit kenaikan suhu tubuh yang tak kunjung reda dijelaskan oleh Vinci, "TBC merupakan infeksi kronis. Tubuh akan bereaksi terhadap bakteri-bakteri yang sudah masuk ke dalam tubuh dengan meningkatkan metabolisme. Nah, meningkatnya metabolisme inilah yang secara otimatis menaikkan suhu tubuh."

Ciri lain, berat badan anak biasanya tak bertambah. Ini karena kalori yang dipakai untuk menaikkan berat badan dipakai untuk melawan bakteri TBC. Disamping itu, penderita pun umumnya malas makan sehingga makin menghambat pertambahan berat badannya. Anak pun terlihat rewel, gelisah, lesu, dan mudah berkeringat. Berdasarkan gejala-gejala tersebut, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk menentukan apakah anak terkena TBC atau tidak.

MENULAR LEWAT UDARA

TBC sendiri merupakan penyakit yang disebabkan bakteri mycobacterium tuberculosis. Masa inkubasinya berbeda dari penyakit lain. Pada penyakit lain, inkubasi diartikan sebagai tenggang waktu antara mulai masuknya bibit penyakit sampai munculnya gejala seperti demam. Sedangkan pada TBC, masa inkubasi dihitung dari masuknya kuman hingga timbulnya pembesaran getah bening di dalam paru-paru yang kadang tidak memperlihatkan gejala. Masa inkubasi ini rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu. Di saat itulah dokter sudah bisa mengatakan si kecil telah positif mengidap TBC. Setelah masa inkubasi barulah timbul gejala.

Menurut Vinci, anak umumnya mengidap TBC lantaran tertular orang dewasa. Pada orang dewasa, bakteri penyebab TBC masuk ke paru-paru kemudian menyerang dinding saluran napas dengan membentuk rongga yang berisi nanah dan bakteri TBC. Nah, setiap kali yang bersangkutan batuk, bakteri TBC yang berukuran kurang dari 10 mikron ikut terlontar keluar dan melayang-layang di udara. Kalau anak yang sehat menghirup udara yang kebetulan mengandung bakteri TBC, maka ia berkemungkinan terkena.

Namun pada anak-anak, bakteri yang ikut masuk tadi hanya menyerang jaringan paru-paru. Jadi, tidak sampai menyerang dinding saluran napas/bronchus. Itulah sebabnya, anak yang menderita TBC umumnya tidak memperlihatkan gejala batuk. Karena tidak pernah batuk, bakteri jadi tidak pernah keluar dan anak tidak akan pernah menularkan penyakitnya kepada orang lain. Fase ini dinamakan sebagai TBC tertutup.

Meski begitu, pada anak-anak dengan status gizi sangat buruk, bakteri TBC bisa saja menyerang saluran bronchusnya hingga menimbulkan rongga bernanah berisi bakteri TBC seperti layaknya TBC pada orang dewasa. Anak akan sering terbatuk dan ikut keluarlah nanah dan bakteri yang bercokol di tubuhnya. TBC anak yang seperti ini bersifat menular dan fasenya bukan tertutup lagi, melainkan sudah terbuka.

Hal yang perlu diwaspadai dari penyakit ini adalah terjadinya komplikasi. Komplikasi terjadi karena bakteri yang masuk ke paru-paru tidak bisa dilawan oleh sel darah putih. Akibatnya, bakteri tersebut masuk ke aliran darah dan menyerang organ-organ vital seperti tulang, sendi panggul, otak, dan lain-lain. Hal ini umumnya terjadi pada anak yang belum mendapat vaksinasi BCG atau bisa juga karena ibu menderita TBC di masa hamil dan kemudian menularkannya pada bayi melalui ASI. Risiko tertular makin besar bila si anak memiliki kondisi gizi buruk.

TES UNTUK MENDETEKSI

Vinci menjelaskan, tidak mudah untuk memvonis seorang anak mengidap TBC. Dibutuhkan serangkaian tes dan konsultasi langsung dengan keluarga untuk menemukan jawaban pastinya:

1. TES RONTGEN

Tes ini untuk mengetahui ada tidaknya flek paru pada anak. Sayangnya hasil foto rontgen tak bisa dijadikan patokan mutlak. Sebab, flek paru pada anak untuk menentukan sebuah penyakit tidaklah khas. Artinya, flek yang disebabkan oleh TBC dan asma, contohnya, relatif sama. Ini berbeda dengan orang dewasa, foto flek paru akibat TBC pada orang dewasa umumnya sedikit berawan pada bagian atas, sedangkan pada penderita asma berawan pada bagian bawah.

Selain itu, anak yang tidak ada flek parunya saat di-rontgen bukan berarti bebas dari TBC. Bisa saja dia tidak terkena TBC paru, tapi TBC tulang hingga hasilnya tidak tampak. Pemeriksaan rontgen ini tentu saja mesti diikuti tes lainnya.

2. TES MANTOUX

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kadar sel darah putih (leukosit) pada anak. Jika jumlah sel leukosit menunjukkan peningkatan tajam melebihi standar normal (>10 milimeter), ada kemungkinan yang bersangkutan menderita TBC. Meningkatnya sel darah putih ini berguna untuk melawan bakteri TBC. Pemeriksaan ini umumnya dilanjutkan dengan screening untuk menentukan apakah ia positif terkena TBC atau tidak. Pemeriksaan ini juga mesti dilakukan hati-hati, karena bukan berarti anak yang jumlah leukositnya rendah negatif pastilah TBC. Mungkin saja si anak berstatus gizi sangat buruk, hingga tubuhnya tidak bisa memproduksi sel darah putih, alias kekebalan tubuhnya terganggu.

3. TES DARAH

Ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana laju endap darahnya. Selain bisa juga ditemukan adanya antibodi TBC. Jika laju endap darahnya kurang baik dan ditemukan antibodi TBC, besar kemungkinan si kecil terkena TBC.

4. WAWANCARA

Untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit anak, wawancara mesti dilakukan secara detail. Beberapa yang hal yang biasanya ditanyakan antara lain lamanya demam, siapa saja anggota keluarga yang berpotensi kemungkinan menularkan penyakit, adakah keluarga yang mengidap TBC. Semua pertanyaan itu sangat penting untuk menegakkan diagnosa TBC pada anak.

OBATI DENGAN TUNTAS

Jika anak positif terkena TBC, dokter akan memberikan obat antibiotika khusus TBC yang harus diminum dalam jangka panjang yang berlangsung minimal 6 bulan. Lamanya pengobatan tidak bisa diperpendek karena bakteri TBC tergolong sulit mati dan sebagian ada yang "tidur". Dengan pengobatan jangka panjang, diharapkan bakteri yang "tidur" itu bisa dihabisi begitu terbangun. Sedangkan sisa bakteri akan hancur sendiri oleh adanya kekebalan tubuh. Lagi pula jika dosis obat untuk enam bulan lalu dipersingkat dan dipadatkan menjadi satu bulan, penderita bisa keracunan.

Jenis obat yang biasa diberikan di antaranya rifampisin atau pirazinamide. Jangka waktu pengobatan bisa bertambah jika penyakitnya cukup berat. Bahkan bukan tidak mungkin akan dilanjutkan dengan obat-obat suntikan untuk TBC yang mesti diberikan setiap hari dengan dosis tertentu. Untuk kasus TBC berat, penderita pun kadang harus menjalani rawat inap.

Setelah sembuh, penderita TBC biasanya diharuskan menjalani evaluasi guna melihat reaksi obat dan tingkat kesembuhan pasien. Caranya, mengamati pertambahan berat badan dan gejala-gejala lain yang menyertai TBC. Meski terlihat sembuh, si kecil tetap harus menghabiskan obat yang ada. Dengan cara itu, semua bakteri TBC bisa dihancurkan.

AYO TANGKAL TBC

Penyakit TBC bisa menimbulkan komplikasi, yaitu menyerang beberapa organ vital tubuh, di antaranya:

1. TULANG

TBC tulang ini bisa disebabkan oleh bakteri TBC yang mengendap di paru-paru, lalu terjadi komplikasi dan masuk ke tulang. Atau bisa juga bakteri TBC langsung masuk ke tulang lewat aliran darah dari paru-paru. Waktu yang dibutuhkan bakteri untuk masuk dan merusak tulang bervariasi. Ada yang singkat, tapi ada pula yang lama hingga bertahun-tahun. Bakteri TBC biasanya akan berkembang biak dengan pesat saat kondisi tubuh sedang lemah, misalnya selagi anak terkena penyakit berat. Saat itu kekebalan tubuhnya menurun, sehingga bakteri pun leluasa menjalankan aksinya.

Bagian tulang yang biasa diserang bakteri TBC adalah sendi panggul, panggul dan tulang belakang. Gangguan tulang belakang bisa terlihat dari bentuk tulang belakang penderita. Biasanya tidak bisa tegak, bisa miring ke kiri, ke kanan, atau ke depan. Sendi panggul yang rusak pun membuat penderita tidak bisa berjalan dengan normal. Sedangkan pada ibu hamil, kelainan panggul membuatnya tidak bisa melahirkan secara normal. Jika kelainannya masih ringan, upaya pemberian obat-obatan dan operasi bisa dilakukan. Lain halnya jika berat, tindakan operasi tidak bisa menolong karena sendi atau tulang sudah hancur. Penderita bisa cacat seumur hidup.

2. USUS

Selain karena komplikasi, TBC usus ini bisa timbul karena penderita mengonsumsi makanan/minuman yang tercemar bakteri TBC. Bakteri ini bisa menyebabkan gangguan seperti penyumbatan, penyempitan, bahkan membusuknya usus. Ciri penderita TBC usus antara lain anak sering muntah akibat penyempitan usus hingga menyumbat saluran cerna. Mendiagnosis TBC usus tidaklah mudah karena gejalanya hampir sama dengan penyakit lain. Ciri lainnya tergantung bagian mana dan seberapa luas bakteri itu merusak usus. Demikian juga dengan pengobatannya. Jika ada bagian usus yang membusuk, dokter akan membuang bagian usus itu lalu menyambungnya dengan bagian usus lain.

3. OTAK

Bakteri TBC juga bisa menyerang otak. Gejalanya hampir sama dengan orang yang terkena radang selaput otak, seperti panas tinggi, gangguan kesadaran, kejang-kejang, juga penyempitan sel-sel saraf di otak. Kalau sampai menyerang selaput otak, penderita harus menjalani perawatan yang lama. Sayangnya, gara-gara sel-sel sarafnya rusak, penderita tidak bisa kembali ke kondisi normal.

4. GINJAL

Bakteri TBC pun bisa merusak fungsi ginjal. Akibatnya, proses pembuangan racun tubuh akan terganggu. Selanjutnya bukan tidak mungkin bakal mengalami gagal ginjal. Gejala yang biasa terjadi antara lain mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit kepala, lemah, dan sejenisnya. Gagal ginjal akut bisa sembuh sempurna dengan perawatan dan pengobatan yang tepat. Sedangkan gagal ginjal kronik sudah tidak dapat disembuhkan. Beberapa di antaranya harus menjalani cangkok ginjal.

CEGAH DENGAN PERTAHANAN TUBUH

Seperti disinggung di atas, siapa saja bisa terjangkit penyakit ini, apalagi Indonesia merupakan daerah endemik. Kita tidak bisa menghindar, yang bisa dilakukan adalah mencegah supaya tidak tertular. Karena penularan penyakit ini ada kaitannya dengan daya tahan tubuh, maka hal yang mesti dilakukan adalah meningkatkan daya tahan tubuh. Berikut beberapa aktivitas yang bisa dilakukan:

* Konsumsi makanan bergizi

Dengan asupan makanan bergizi, daya tahan tubuh akan meningkat. Produksi leukosit pun tidak akan mengalami gangguan, hingga siap melawan bakteri TBC yang kemungkinan terhirup. Selain itu, konsumsi makanan bergizi juga menghindarkan terjadinya komplikasi berat akibat TBC.

* Vaksinasi

Dengan vaksinasi BCG yang benar dan di usia yang tepat, sel-sel darah putih menjadi cukup matang dan memiliki kemampuan melawan bakteri TBC. Meski begitu, vaksinasi ini tidak menjamin penderita bebas sama sekali dari penyakit TBC, khususnya TBC paru. Hanya saja kuman TBC yang masuk ke paru-paru tidak akan berkembang dan menimbulkan komplikasi. Bakteri juga tidak bisa menembus aliran darah dan komplikasi pun bisa dihindarkan. Dengan kata lain, karena sudah divaksin BCG, anak hanya menderita TBC ringan.

* Lingkungan

Lingkungan yang kumuh dan padat akan membuat penularan TBC berlangsung cepat. Itulah mengapa upayakan lingkungan yang sehat dan jaga kebersihan makanan dan minuman. Istirahat dan berolahragalah yang cukup agar daya tahan tubuh meningkat. Lewat cara itu, semoga kita semua terbebas dari penyakit yang diperingati setiap 24 Maret ini.

Saeful Imam. Ilustrator: Pugoeh

TB paru

Waspadai Penyakit TB paru, Seorang Penderita TB Dewasa Bisa Menulari Sepuluh Anak

Posted in Tulisan di Koran by Agnes Tri Harja... on Sun, 2004-03-28 11:00

dikutip dari : Pikiran Rakyat, Minggu, 28 Maret 2004
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0304/28/hikmah/lainnya02.htm


RAMBUTNYA tampak kusam kemerahan. Matanya yang cekung menatap tanpa gairah. Tubuh kecil dan kurus membuatnya terlihat ringkih. Sesekali digunakannya lengan baju untuk mengusap ingus yang keluar. Batuk- batuk kecil pun kerap terdengar dari mulutnya. Anak lelaki itu berjalan lunglai, bersama seorang ibu yang menggandengnya.Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita " Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini."

Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, "Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru."

"Hah!?" Kontan si ibu terhenyak.

"Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya."

Dokter pun menjawab, " Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular ."

Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui "TB Day" yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.

Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.

Dalam 'Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis' yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, 'Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak' ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.

Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.

Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.

Dalam makalah yang berjudul 'Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak' (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.

Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan

Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).

Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.

Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.

Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .

Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.

Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.

Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)

Masuk ke dalam ruang praktik dokter, ibunya bercerita " Anak saya sakit biasa Dok, panas-batuk-pilek. Sekarang, batuknya sudah 3 minggu lebih belum sembuh. Tapi saya bosan, hampir setiap bulan saya ganti dokter. Ririwit pisan budak teh, Dok (mudah sekali sakit anak ini, Dok). Mana makannya susah sekali. Padahal sudah saya beri vitamin dan obat cacing, tapi tetap saja kurus begini."

Dokter memeriksa dengan teliti, memberi surat pengantar ke laboratorium, dan berpesan agar mereka kembali kontrol. Akhirnya, dokter menyimpulkan, "Ibu, anak ibu kemungkinan menderita tuberculosis (TB) Paru."

"Hah!?" Kontan si ibu terhenyak.

"Dari mana, Dok? Di keluarga saya mah tidak ada turunan yang begini. Memang bapak tetangga sebelah itu Dok, seperti yang saya ceritakan kemarin, sering batuk-batuk. Katanya punya penyakit bronchitis. Dulu malah pernah batuk darah, sudah bosan berobat tapi belum sembuh juga katanya."

Dokter pun menjawab, " Saya memang sering mendengar masyarakat awam menyebut penyakit ini bronchitis, Bu. Padahal sama sekali berbeda. Lagipula, penyakit TB memang tidak diturunkan, tapi menular ."

Setiap tahun dunia diingatkan tentang bahaya TB melalui "TB Day" yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Walaupun pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menanggulangi penyakit TB, angka kejadian penyakit ini tetap tinggi dan cenderung meningkat.

Kasus di atas sering terjadi di masyarakat. Penderita TB anak yang tidak terdeteksi, atau terlambat diketahui. Selain karena sulitnya dokter mendiagnosa kasus TB pada anak, banyak pula masyarakat yang belum mengetahui seluk beluk penyakit ini. Masih banyak orang yang tidak mengerti bahwa penyakit TB dapat menular. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak waspada ketika mengetahui ada penderita TB dewasa di sekitarnya. Penderita sendiri terkadang malas berobat atau tidak tuntas menyelesaikan pengobatan. Padahal sumber penularan yang paling berbahaya adalah orang dewasa yang positif menderita TB.

Dalam 'Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis' yang dikeluarkan Departemen kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2003, diperkirakan terdapat 8 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahun dan hampir 3 juta orang meninggal sebagai akibat langsung dari penyakit ini. Kasus tuberculosis pada anak terjadi sekira 1,3 juta setiap tahun dan 450.000 di antaranya meninggal dunia. Laporan World Health Organization (WHO), tahun 1997, menyebutkan Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam hal jumlah kasus TB setelah India dan Cina. Pada tahun 1999 WHO memperkirakan, dari setiap 100.000 penduduk Indonesia akan ditemukan 130 penderita baru TB paru dengan bakteri tahan asam (BTA) positif.

Prof. Dr. Cissy B. Kartasasmita SpA, dokter spesialis konsultan penyakit paru anak, dalam makalahnya, 'Pencegahan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak' ( tahun 2002) menyebutkan, karena sulitnya mendiagnosa TB pada anak, angka kejadian TB anak belum diketahui secara pasti. Namun bila angka kejadian TB dewasa tinggi dapat diperkirakan kejadian TB anak akan tinggi pula. Hal ini terjadi karena setiap orang dewasa dengan basil tahan asam (BTA) positif akan menularkan 10 orang di lingkungannya, terutama anak-anak. Karenanya sangat penting untuk mendeteksi TB pada dewasa dan menelusuri rantai penularannya. Sehingga setiap anak yang mempunyai risiko tertular dapat dideteksi dini dan diberi pencegahan.

Beberapa hal yang diduga berperan pada kenaikan angka kejadian TB antara lain adalah, diagnosis dan pengobatan yang tidak tepat, kepatuhan yang kurang, migrasi penduduk, peningkatan kasus HIV/AIDS, dan strategi DOTS ( Directly Observed Therapy Short-course) yang belum berhasil. Strategi DOTS adalah program yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 program ini dilaksanakan untuk menanggulangi pemberantasan tuberculosis paru di Indonesia.

Apakah tuberculosis itu? Dalam buku Depkes yang sama disebutkan, tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru. Kemudian kuman menyebar dari paru ke bagian tubuh lain melalui system peredaran darah, system saluran limfa, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru.

Sebagian besar orang yang terinfeksi (80-90%) belum tentu menjadi penderita tuberculosis. Untuk sementara, kuman yang berada dalam tubuh mereka bisa berada dalam keadaan dormant (tidur). Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai risiko untuk menderita tuberculosis sepanjang sisa hidupnya. Sedangkan mereka yang menjadi sakit disebut sebagai penderita tuberculosis.

Dalam makalah yang berjudul 'Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis pada Bayi dan Anak' (tahun 2002), dr. Oma Rosmayudi SpA, pengajar di Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Anak Universitas Padjajaran, menjelaskan bahwa penyakit TB ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB dewasa dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.

Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat dengan penderita TB dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi, terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian (akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang rawan tertular TB adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi, mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB berat seperti TB meningitis, TB milier atau penyakit paru berat. Muncul tidaknya infeksi penyakit TB tergantung beberapa faktor seperti daya tahan tubuh (umur,status gizi, penyakit, ada tidaknya kekebalan spesifik) serta jumlah dan virulensi kuman yang sampai ke saluran di paru-paru.

Diagnosis, pengobatan dan pencegahan

Mengapa diagnosa pasti TB pada anak sulit ditegakkan?. Diagnosis pasti TB dibuat bila ditemukan basil TB dari bahan yang diambil dari dahak (sputum), bilasan lambung atau jaringan yang terkena penyakit. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat. Karenanya diagnosis TB pada anak didasarkan atas diagnosis kemungkinan (probability) dari hasil gambaran klinis, gambaran radiologis, uji tuberculin dan pemeriksaan lain yang cocok. Selain itu, anak yang menderita TB tidak banyak menunjukkan gejala dan tanda. Hanya sebagian kecil penderita yang memberikan gejala tidak spesifik seperti demam, sulit makan, penurunan berat badan, batuk dan mengi (sesak nafas).

Konsensus nasional TB anak IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) 2002 membuat alur deteksi dini dan rujukan TB pada anak sebagai berikut. Seorang anak dicurigai menderita TB bila, ada riwayat kontak dengan penderita TB sputum BTA positif, reaksi cepat BCG( timbul kemerahan di lokasi suntikan dalam 3-7 hari setelah imunisasi BCG), berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi, demam lama atau berulang tanpa sebab yang jelas, batuk lebih dari 3 minggu, pembesaran kelenjar limfe superficial yang spesifik, skrolfuloderma, konjungtivitis fliktenularis, tes tuberculin yang positif (> 10 mm), dan gambaran foto rontgen sugestif TB. Bila ditemukan 3 gejala atau lebih, maka seorang anak dianggap menderita TB dan harus mendapatkan obat anti tuberculosis (OAT). Selanjutnya anak diobservasi selama 2 bulan. Bila keadaannya membaik maka OAT diteruskan, tapi bila tetap atau memburuk harus dirujuk ke rumah sakit.

Pengobatan TB pada bayi dan anak pada dasarnya sama dengan TB dewasa. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah dan dosis yang tepat selama 6-9 bulan supaya kuman dapat dibunuh. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Tahap intensif dimaksudkan untuk menghentikan proses penyakit. Tahap ini harus dilaksanakan dengan pengawasan ketat untuk mencegah terjadinya kekebalan obat selama 2 bulan. Sedangkan tahap lanjutan dimaksudkan agar semua kuman yang dorman (tidur) terbunuh. Pemberian obat kombinasi lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu lebih panjang yaitu 4 bulan. Semua tahap OAT diberikan setiap hari dalam satu dosis sebelum makan pagi.

Mengingat angka kejadian TB yang cenderung meningkat, bagaimanakah cara pencegahan agar anak tidak tertular penyakit ini? Menurut Prof. Cissy dalam makalah yang sama, TB pada bayi dan anak dapat dicegah dengan beberapa cara seperti imunisasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin), pengobatan untuk pencegahan (kemoprofilaksis), menghindari kontak dengan penderita TB, mendiagnosis dan mengobati kasus TB dewasa secara tepat, serta dengan menerapkan strategi DOTS .

Cara-cara pencegahan di atas telah dilakukan di Indonesia. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah telah melakukan Program pemberantasan tuberculosis paru dan berbagai kebijakan lainnya. Namun semua itu belum memperlihatkan hasil yang nyata. Karenanya peran aktif dokter dan masyarakat akan sangat membantu dalam pemberantasan penyakit ini.

Para dokter diharapkan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan agar dapat mendeteksi serta mendiagnosis penyakit TB pada stadium dini. Sedangkan masyarakat dituntut lebih proaktif dalam meningkatkan pengetahuan dan keingin-tahuan mengenai penyakit ini. Bila pengetahuan masyarakat bertambah, masyarakat akan lebih waspada, sehingga penyakit TB pada anak dapat terdeteksi dan terobati sejak awal.

Selain itu, masyarakat dapat membantu melaporkan kasus baru TB dewasa dan memberikan motivasi pada penderita untuk berobat dan tidak bosan meminum obat. Hasilnya, akan semakin banyak penderita dewasa yang sembuh dan tidak lagi menularkan penyakitnya pada anak-anak. Ingat, hembusan nafas setiap penderita TB paru dewasa dapat menular pada sepuluh anak disekitarnya, jangan biarkan! (Agnes Tri Harjaningrum, dokter umum, dan peserta klub penulisan Hardim)

Kejang Demam

Kejang Demam
dikutip dari : website sumber tidak jelas.

Tentang Artikel


Artikel ini sengaja ditulis sebagai bentuk kepedulian bagi mereka yang mencari-cari informasi tentang Kejang Demam atau dalam istilah kedokteran dikenal dengan nama Febrile Convulsion atau Convalsio Febrillis. Istilah umum yang lebih membumi untuk keadaan ini adalah stuip (baca: stip).

Cukup banyak pengunjung untuk ukuran situs kecil ini yang mencari informasi tentang hal tersebut. Keyword “kejang demam” sendiri selalu menempati posisi 10 besar dalam statistik bulanan situs ini sejak Desember 2004. Mereka yang mencari selalu dihantarkan pada halaman Demam Bukanlah Musuh Yang Harus Diperangi publikasi 3 November 2004, yang mana artikel aslinya dapat ditemukan pada situs We R Mommies. Artikel tersebut dikutip lengkap dan dipublikasikan pada situs ini dengan tujuan awal sebagai referensi pribadi semata. Namun kompleksitas dunia maya internet membuatnya menjadi konsumsi publik.

Sebuah informasi yang membuat saya tertarik dengan artikel tersebut adalah kutipan berikut ini:

* Not all fevers need to be treated but many physicians do so to relieve parental concern.

* Tidak semua panas badan (demam) memerlukan pengobatan, namun banyak dokter melakukannya hanya untuk mengurangi kegelisahan orangtua.

– (Europe[an] Journal Pediatric, 1994 Jun)

Catatan Yang Perlu Anda Ketahui

Karena saya bukanlah seorang profesional medis, dan tidak sedikit pun memiliki latar belakang pendidikan medis maka hal berikut ini adalah penting untuk anda ketahui.

Informasi pada artikel ini disediakan dengan tujuan informatif semata-mata dan tidak dimaksudkan sebagai pengganti nasihat dan saran yang diberikan oleh dokter pribadi anda atau profesional medis lainnya. Anda sebaiknya tidak menggunakan informasi yang ada di sini untuk mendiagnosa atau dasar menyelesaikan masalah kesehatan atau pengobatan.

Anda juga diminta untuk membaca dan memahami halaman yang ditautkan atau link pada situs-situs yang saya jadikan sumber artikel ini guna menghindari salah paham atas apa yang dikutip dan diuraikan.

Anak Anda Demam?

Demam merupakan gejala dari suatu penyakit. Seseorang dikatakan mengalami demam apabila suhu badan lebih dari 37,8oC.

Demam merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi atau masuknya zat asing ke dalam tubuh. Apabila mengalami demam, harus diwaspadai adanya penyakit yang sedang menyerang tubuh. Dengan mengetahui penyebab demam akan sangat membantu menentukan pengobatan bagi penderita.

Tergantung dari penyebabnya, tanda / gejala yang menyertai demam dapat meliputi :

Berkeringat, menggigil, sakit kepala, sakit otot, kehilangan nafsu makan, dehidrasi, badan lemah, dll

Demam yang sangat tinggi antara 39,4oC – 41,1oC dapat menyebabkan halusinasi, kebingungan, mudah marah, bahkan kejang-kejang.

– (Mengapa Demam Perlu Diwaspadai?. Klinik Prodia.)

Tabel berikut ini mengandung informasi batas atas suhu tubuh normal pada termometer raksa dan digital menggunakan metoda rektal (pengecekan melalui anus/dubur) dan oral (pengecekan dilakukan pada mulut).

Method Time 3 and Under Over 3

Rectal temperature

(Mercury Thermometer) 2 minutes 100.4º F

(38º C) 100º F

(37.8º C)

Oral temperature

(Mercury Thermometer) 2 minutes 99.5º F

(37.5º C) 99º F

(37.2º C)

Rectal Temperature

(Digital Thermometer) 1 minute 100.4º F

(38º C) 100º F

(37.8º C)

Oral Temperature

(Digital Thermometer) 1 minute 99.5º F

(37.5º C) 99º F

(37.2º C)

(Lihat: Febrile convulsions. Medical Library, American Academy of Pediatrics.)

Kejang Demam

Untuk menghindari kesalahpahaman dan lebih mengenali apa itu kejang demam, ada baiknya kita mengetahui apa sebenarnya kejang demam dan beberapa hal yang terkait dengan serangan kejang demam. Berikut ini adalah beberapa petikan informasi yang saya dapatkan dari beberapa situs yang mengandung artikel berisi informasi tentang kejang demam.

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal lebih dari 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (diluar rongga kepala). Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.

– (Kejang Demam. Info Kesehatan, MER-C. Maret 2004)

Kejang demam, dalam istilah medis dikenal sebagai febrile konvulsi, adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal > 38oC), yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (di luar susunan saraf pusat). Penyakit ini paling sering terjadi pada anak, terutama pada golongan umur 6 bulan sampai 4 tahun.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan neurotransmiter, sehingga terjadi kejang.

Kejang tersebut kebanyakan terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis (peradangan pada amandel), infeksi pada telinga, dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf.

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.

– (Artikel Medis. ThreeInOne. Hal. 5)

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (rectal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam biasanya terjadi pada anak umur 6bln - 5th. Bila anak berumur kurang dari 6bln atau lebih dari 5th mengalami kejang didahului demam perlu dipikirkan kemungkinan lain, misalnya infeksi susunan saraf pusat, epilepsy yang kebetulan terjadi bersamaan dengan demam.Beberapa faktor penting pada kejang demam adalah demam, umur, dan genetic.

Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi, kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi sudah dapat menyebabkan kejang. Bila kejang telah terjadi pada demam yang tidak tinggi, anak mempunyai risiko tinggi untuk berulangnya kejang. Kejang demam dibedakan menjadi dua yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat, kurang dari 10 menit, tonik klonik, serangan akan berhenti sendiri, tanpa gerakan fokal atau berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam kompleks cirinya kejang berlangsung > 15 menit; kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang partial; berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

– (Natalina Soesilawati, dr. Sp.A. RS. Mitra Keluarga)

Kejang disebabkan oleh pelepasan hantaran listrik yang abnormal di otak. Gejala-gejala yang timbul dapat bermacam-macam tergantung pada bagian otak yang terpengaruh, tetapi umumnya kejang berkaitan dengan suatu sensasi “aneh”, kekakuan otot yang tidak terkendali, dan hilangnya kesadaran.

Kejang dapat terjadi akibat adanya kelainan medis. Rendahnya kadar gula darah, infeksi, cedera kepala, keracunan, atau overdosis obat-obatan dapat menyebabkan kejang. Selain itu, kejang juga dapat disebabkan oleh tumor otak atau kelainan saraf lainnya. Kurangnya oksigen ke otak juga dapat menyebabkan kejang. Pada beberapa kasus, penyebab kejang mungkin tidak diketahui. Kejang yang terjadi berulang mungkin merupakan suatu indikasi akan adanya suatu kondisi kronik yang dikenal sebagai epilepsi.

Kejang demam merupakan kejang yang cukup sering dijumpai pada anak-anak yang berusia dibawah 5 tahun. Kejang demam dapat timbul bila seorang anak mengalami demam tinggi, biasanya suhu tubuh meningkat dengan cepat mencapai 39 derajat Celsius atau lebih. Walaupun hal ini sangat mengkhawatirkan bagi orang tua, kejang seperti ini umumnya terjadi singkat dan jarang menimbulkan masalah, kecuali bila demam yang terjadi berkaitan dengan infeksi serius seperti meningitis. Anak yang mengalami kejang demam tidak mempunyai kecenderungan untuk mengalami epilepsi.

– (Kejang Demam. Tips-tips, Pediatrik.Com. 24 April 2004)

Febrile convulsions are seizures (sometimes known as fits) that occur in a child with a high fever of over 39oC (102.2oF). These most typically occur during the early stages of a viral infection such as a respiratory infection, while the temperature is rising rapidly.

Febrile convulsions can be frightening but they’re rarely serious.

– (Dr Trisha Macnair. Febrile convulsions. Health, BBC)

In children between 6 months and 5 years, fever can trigger seizures, called febrile convulsions. These usually happen during the first few hours of a febrile illness. The child may look “peculiar” for a few moments, then stiffen out, twitch and roll his eyes. He will be unresponsive for a short time, and his skin may appear a little darker than usual during the episode. The entire convulsion usually will last no more than three or four minutes and may be over in a few seconds, but it can seem like a lifetime to a frightened parent. It is reassuring to know that febrile convulsions almost always are harmless, although he should be examined by your pediatrician as soon as possible, particularly if this is the first time it has occurred or if it is more severe or prolonged than others he has had. You need to be sure that the seizure is due to fever and not to a more serious condition such as meningitis.

– (Febrile convulsions. Medical Library, American Academy of Pediatrics.)

A febrile convulsion is a common medical condition when a convulsion or fit is brought on by an elevated temperature. Babies and young children often have illnesses that are accompanied by fever - this is a normal part of growing up. Most children with fever suffer only minor discomfort. However, in about 3-4% of infants and toddlers fever brings on a convulsion. These kinds of convulsions are not harmful to the child and do not cause brain damage.

– (Febrile convulsions. Kids health info for parents, Royal Children’s Hospital. Melbourne - Australia)

Penting Untuk Diingat

Setelah mengetahui sekelumit informasi tentang kejang demam yang ada pada kutipan diatas, ada baiknya kita juga mengetahui beberapa hal penting yang harus kita ingat tentang kejang demam itu sendiri. Berikut ini ada listing hasil pencermatan saya pada informasi-informasi terkait dengan kejang demam:

Umum ditemui pada anak-anak dalam rentang usia 3 bulan hingga 6 tahun. Lebih detail; 2-4% pada usia dibawah 5 tahun, 4% pada 6 bulan pertama kelahiran, 90% diantara 6 bulan hingga 3 tahun, dan 6% pada usia diatas 3 tahun. (Lihat: Febrile convulsion. PRODIGY Guidance, U.K. National Health Service. April 2002.)

Kejang demam terjadi dalam waktu singkat, umumnya pada rentang waktu dibawah 15 menit. Lebih detail; 78% dialami kurang dari 6 menit, 50% terjadi dibawah 3 menit. sekitar 5% terjadi diatas 30 menit. Diatas rentang waktu 15 menit, serangan tersebut perlu diwaspadai, karena tergolong serangan kompleks yang bisa terjadi lebih dari 1 kali dalam kurun waktu 24 jam.

Kejang terjadi bersamaan dengan kenaikan suhu badan (demam) yang tinggi dan cepat hingga mencapai suhu luar tubuh 38oC atau lebih.

Wujud kejang dapat berupa (bola) mata berbalik ke atas disertai kekakuan atau kelemahan. Atau, terjadi gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan pada anggota gerak. (Lihat: Nanny Selamihardja. Tetaplah Tenang Jika Anak Kejang Demam. Terapi, Intisari. Mei 2001.)

Untuk kasus kejang demam kompleks, biasanya penderita memiliki kelainan neurologis dan atau memiliki riwayat kejang bahkan epilepsi dalam keluarganya

Penderita biasanya akan tidur pulas atau nyenyak setelah mengalami kejang demam.

Secepatnya menurunkan panas badan adalah hal utama menghindari kejang.

Longgarkan pakaian yang ketat atau yang berbahan dasar dengan sifat memerangkap panas.

Gunakan kompres air hangat dan perbanyak minum air putih untuk merangsang turunnya panas badan penderita, hindari penggunaan air dingin dan kompres alkohol. Obat penurun panas dapat pula digunakan bila dibutuhkan. (Lihat: Anak Demam Perlu Kompres?. Keluarga, Bali Post dan Bagaimana Menolong Anak Kejang?. Bias Wanita, Pusat Data dan Informasi PERSI. 16 Feb 2004.).

Hindari penggunaan kopi sebagai anti kejang, gunakan obat pencegah kejang yang diberikan lewat dubur jika penderita tidak dapat mengkonsumsi obat.

Bila terjadi kejang, jangan menahan gerakan-gerakan anak seperti memegangi tangan atau kakinya. Segera miringkan anak apabila kejang telah berhenti.

Keadaan ini tidak identik dengan epilepsi, dimana serangan kejang terjadi berulang-ulang tanpa demam. Ada sekitar 15% kasus epilepsi yang didahului dengan gejala kejang demam. Namun, kurang dari 5% anak kejang demam berkembang menjadi epilepsi.

Tetap monitor suhu tubuh penderita selama 16 hingga 24 jam sejak awal serangan. Karena kemungkinan serangan ulang masih mengintainya.

Yang paling penting, tetap tenang dan tidak panik saat menghadapi gejala dan serangan kejang demam yang terjadi pada penderita.

Benang Merah

Kejang demam yang banyak dialami anak balita yang memiliki sifat bawaan mudah mendapatkan gangguan kesehatan tersebut. Tidak seperti epilepsi, pencetus kejang demam pada umumnya demam tinggi. Bila kejang demam terjadi, tenanglah. Namun bila serangan itu berlanjut lebih dari lima menit, segeralah mencari bantuan dokter.

Orangtua disarankan tetap waspada terhadap kemungkinan serangan kejang demam. Kalau serangan datang, orang tua hendaknya tetap tenang. Menulis dan mngatakan untuk tetap tetang memang tidak semudah melakukannya saat kita berhadapan dengan penderita, apalagi bila penderita adalah buah hati tercinta. Namun hal tersebut teramat sangat penting, untuk menghindari hal-hal bodoh yang kelak justru akan berakhir dengan kesal tak berkesudahan. Sebab emosi atau kebingungan tidak akan menyelesaikan masalah dengan cepat!

*** fp’31.03.05 - Disarikan dari berbagai sumber. ***

tips dan info balita

Bagi-bagi Blog Ini

Health Blogs - BlogCatalog Blog Directory

Pengikut